Senin, 03 Januari 2011

Sastra SyamAS I/Jan/2011: Slamet Untung

Oleh: Muhammad Isa Afnis (Mahasiswa AS angkatan 2008)

Sesosok tua tertidur diatas sebuah kursi goyang di beranda rumahnya. Liurnya mengalir tak henti, membasahi pipi sampai ke kuping dan lehernya. Koran pagi dan segelas teh yang tinggal setengah teronggok di meja, di sampingnya. Matahari sudah lebih dari setombak. Sinar hangat menerpa wajah laki-laki tua itu tanpa ampun. Bulir-bulir keringat mulai menyemai dahi laki-laki itu. Di depan sana lalu-lalang manusia- manusia, kendaraan bermotor, jerit anak-anak kecil berbaur dengan kepulan asap karbon dan teriakan-teriakan penjaja asongan, benar-benar bising. Sungguh hari yang sibuk dan ramai sekali. Tapi seakan batuan karang yang tegar oleh gelombang debur ombak yang menerpanya, laki-laki itu tetap saja tenang, tidur dengan lelapnya.
Di rumah yang terletak di seberang pasar itu, laki-laki itu hanya hidup berdua cucunya, yang masih kecil. Seorang anak yang tak berani memimpikan masa depan, sebab nasib kurang berpihak kepadanya. Jadilah dia sebagai pedagang asongan. Di umurnya yang baru sebelas tahun, anak laki-laki itu sudah terampil benar menata kacang rebus, rokok-rokok, permen, tisu dan beberapa barang lagi dalam tempat jualannya. Sebuah tempat jualan sederhana yang terbuat dari kayu. Tangan laki-laki tua itulah yang membuatnya. Di usianya yang baru sebelas tahun, sudah mahirlah anak itu dalam menjajakan dagangannya.
“Kacang rebus, kacang rebus, kacang rebus.....rokok, rokok, rokok....”. begitulah mantra-mantra yang sangat dihapalnya, yang terus dia teriakkan, demi mengais rezekinya saban hari.
Kira-kira jam sembilan siang, pintu depan rumah itu terbuka. Dari dalam rumah Surya, anak asongan itu, keluar dengan berkalung wadah dagangan lengkap dengan segala isinya. Demi dilihatnya kakek tersayangnya tertidur di atas kursi goyang, Surya hanya tersenyum kecut. Teringat olehnya, betapa sejak sore kemarin sampai tengah malam, kakeknya itu tidur di kamarnya. Kuat benar laki-laki tua itu.  Surya kembali masuk ke dalam rumahnya, sebelum beberapa saat kemudian dia keluar lagi. Kali ini tangan mungilnya membawa sepiring ubi rebus yang masih mengepul asap. Ditaruhnya sepiring ubi panas itu diatas meja, di samping kakeknya. Tak berani Surya bengunkan orang tua itu, untuk sekedar berpamitan dan memohon doanya. Jangan sekali-kali berani membangunkan kakek. Itu sama artinya kamu terperosok di mulut singa yang kelaparan. Biarkan saja Slamet Untung, nama laki-laki tua itu bangun sendiri dari setiap tidurnya yang panjang-panjang.
Sinar matahari mulai terasa hangat menerpa punggung Surya. Segera saja anak itu menyeberang jalan, menaiki sebuah angkot di depan pasar. Secepat nanti dia sampai di terminal, secepat itu pula dia bisa mengadu nasib, mencari rezeki demi menyambung nyawa.
Setiap hari, tanpa libur kerja, begitulah pekerjaan Surya. Setelah sholat shubuh mesti memasak air. Kakeknya suka mandi air hangat setiap pagi. Saat kakeknya mandi, Surya harus menyediakan segelas teh hangat dan koran pagi. Sewaktu dia masuk ke rumah untuk menata barang dagangannya, kakek kesayangannya itu pasti sedang membaca koran dan sesekali menyeruput teh panas buatannya. Nanti, setelah selesai dia bersihkan seluruh ruang dan isi rumah, setelah ada sesuatu untuk sarapan kakeknya, barulah Surya keluar rumah. Yang di dapatinya selalu saja dengkur keras kakeknya diatas kursi goyang itu. Sore hari, saat dia pulang nanti, seringkali yang didapatinya tetap saja dengkur pulas itu. Yang berubah hanyalah sarapan yang disiapkannya, habis tak bersisa. Kakeknya baru bangun sesaat saja, sebelum adzan maghrib berkumandang. Gemericik air, seperti orang wudlu, menyenangkan hati surya. Langkahnya ringan menuju masjid kecil di belakang pasar.
Di terminal, diantara ramainya lalu-lalang orang, mata Surya terpana sewaktu menyaksikan seorang nenek-nenek begitu tangkas naik-turun bus, menjajakan berbungkus-bungkus jahe hangat. Enam puluhan tahun, begitulah kira-kira taksiran Surya perihal umur nenek itu. Nyaris tak terlihat kelelahan membalut wajah nenek itu. Surya menyungging senyum takjub demi menyaksikan pemandangan di depannya. Sekelebat wajah kakeknya hinggap di benaknya. Sesosok pemalas yang cuma kuat saat tidur saja. Ah, betapa kakeknya itu hampir-hampir tak pernah mau bekerja. Pekerjaan utamanya ya cuma tidur itu!. Seuntai senyum kembali menghias bibir Surya. Namun kali ini senyum getir.
Hampir maghrib Surya baru sampai rumahnya. Dan benar saja, lagi lagi yang menyambut kedatangannya adalah dengkur pulas kakeknya. Surya mencoba merayapi wajah kakeknya itu. Pikirannya kembali merangkai hari-hari lalu yang dilewatinya bersama laki-laki di depannya itu. Ah, betapa dulu dari mulut laki-laki itu, sebuah dongeng tentang pahlawan, semangat kerja, giat belajar, toleransi, patriotisme, mengantar Surya ke dalam mimpi. Dan, ternyata, seingat Surya, hanya itu saja yang menarik untuk diingatnya. Yang lain hampir-hampir tak ada. Sebab, memang dari dulu pula lah kegemaran tidur itu menguasai kakeknya. Soal ibadah pun demikian. Setiap saat laki-laki tua itu mengingatkan atau lebih tepatnya mendakwahi Surya, agar selalu beribadah dengan khusyuk dan ikhlas, tanpa harapan apapun kecuali ridha dari Allah SWT. Sangat bertolak-belakang-lah apa yang keluar dari mulut kakeknya dengan perbuatannya.
Tak terasa air mata terjatuh dari pelupuk mata Surya, melelehi pipinya yang cekung. Ketakutan tiba-tiba menghinggapinya. Umur lelaki di depannya semakin menua saja, sedang tak sekalipun dilihatnya kakeknya itu mengerjakan shalat.
Maghrib ini Surya sengaja sholat di Masjid. Mata tua kakeknya mengawasi tingkah-polah Surya yang tengah mempersiapkan sarung, kopyah dan dua lembar sajadah di kamar satu-satunya di rumah yang kecil itu. Seperti paham, lelaki tua itu segera mengambil wudlu. Dengan langkah tegap, laki-laki tua itu berdiri di depan Surya untuk menjadi imam. Hampir saja tangan lelaki tua itu terangkat, untuk takhbiratul ihram, sebelum sejurus kemudian tiba-tiba diajaknya duduk cucu satu-satunya itu. Tanpa berani menolak, Surya menurut saja. Laki-laki tua itu mulai berkata,
“Siang tadi aku bermimpi bercumbu bersama beberapa bidadari sorga, di sebuah taman yang sangat indah. Diantara bunga-bunga aneka warna yang elok menari diterpa semilir angin, mengalir sungai-sungai yang airnya begitu bening, hingga seluruh ikan dan benda-banda sungai lainnya tampak dari permukaan”.
Kakek itu menghela nafasnya. Dengan air muka berbinar-binar kembali dia lanjutkan cerita soal mimpinya itu.
“Beberapa pemuda gagah, yang agaknya malaikat-malaikat terus menari menghiburku. Mereka hanya bisa berhenti kalau-kalau aku menyuruhnya. Dan kamu tahu Surya, ternyata air sungai itu bisa langsung diminum. Kamu tak perlu takut bakal sakit perut, sebab air itu adalah air paling bersih yang pernah ada di dunia. Dan rasa air itu seperti yang terbersit dalam benakmu. Kalau kau bayangkan ingin meminum susu, maka terasa susu lah air itu di lidahmu. Kalau kau bayangkan rasanya seperti es kelapa muda, maka terasa dingin dan segar kelapa muda itu di bibirmu”.
Beberapa saat kakek itu menikmati keterpanaan Surya.
“Kau tahu Surya. Ternyata benarlah kalau aku sedang berada di sorga. Maka, aku jadi terharu mengingat betapa orang tuaku begitu jeli memilihkan nama untukku. Slamet Untung. Sebuah nama yang akhirnya aku buktikan kekeramatannya dengan berhasil memasuki sorga. Dulu, dari kecil hingga muda, kakekmu ini setiap hari kerjanya ibadah, ibadah, ibadah dan ibadah terus. Shalat jamaah tepat waktu menjadi rutinitas yang kecewa hati kakek bila tak melakukannya. Puasa senin-kamis tak jua mau kakek hentikan. Bagi kakek, dengan berpuasa maka semakin bersih lah jiwa kita. Dulu, orang tua kakek, kakek buyutmu begitu membanggakan anak mereka satu-satunya ini”, bagai sedang berakting film, kakek Slamet Untung menepuk dadanya yang kerempeng itu.
“Kakek buyutmu benar-benar bangga mempunyai anak sealim aku. Mungkin kamu menganggap ceritaku ini sebagai bualan. Kamu pikir kakekmu ini pembohong, sebab yang tampak di matamu, kakekmu ini cuma bisa tidur, benarkan ??”.
Tatatpan tajam kakeknya memaksa kepala Surya menggeleng ke kiri ke kanan.
“Bagus, bagus Surya....ayo sekarang kita shalat maghrib. Tak terasa hampir saja kita kehabisan waktu dari shalat yang mulia ini”.
Dalam shalatnya yang dijalankannya tanpa kekhusuyukan, Surya menatap punggung lelaki tua di depannya. Benar memang apa yang kau katakan, bahwa, betapa dulu kau terkenal paling rajin ibadah. Orang-orang sekitar pun mengakuinya. Namun, apa benar ibadah itu ada waktunya. Artinya, kelak, saat tua nanti, bolehlah kita kurangi intensitas ibadah kita, sebab Allah SWT pasti juga kasihan kepada kerentaan kita. Suatu kali nanti bahkan kita boleh tidak beribadah sama sekali. Ini dia pendapat dan alasan yang kerap diucapkan kakeknya untuk menjawab pertanyaan Surya, kenapa kakeknya tak shalat atau tak membaca Al-Qur’an, juga tidak lagi puasa senin-kamis seperti kebiasaannya dahulu. Ah, benarkah demikian ?. Belum sempat terjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak batinnya itu, tiba-tiba tubuh renta kakeknya melorot jatuh, mendebam lantai rumah. Seketika itu juga Surya berteriak ketakutan. Darah segar keluar dari mulut kakeknya. Seketika itu juga nyawa lelaki tua itu terlepas dari raganya. Surya menangis sejadi-jadinya.

***
Di depan sebuah pintu gerbang yang terbuat dari batu-batu permata bercampur emas, sesosok tubuh renta tertidur pulas. Di depannya antrian panjang orang-orang bermuka cahaya, bersih dengan senyum kemenangan tak pernah hilang dari bibir mereka. Di pintunya yang sangat besar, kokoh dan indah itu, tertulis “SORGA”.
Derit keras terbukanya gerbang sorga tak juga menyadarkan lelaki itu dari tidurnya. Sekelompok orang dengan wajah bercahaya berjalan teratur dan rapi sekali memasuki sorga. Saat suara tertutupnya gerbang itu, yang lebih keras, barulah lelaki tua itu terperanjat dari tidurnya. Dijumpainya malaikat Ridwan tersenyum hangat padanya. Dengan emosi sebab tak diperkenankan memasuki sorga, dengan alasan terlambat bangun, malaikat Ridwan menyuruhnya kembali ke tempat antriannya. Kelak, setiap empat puluh tahun gerbang itu akan kembali di bukanya. Slamet Untung tak terima dengan keputusan malaikat Ridwan. Bukankah saat di dunia dulu, sewaktu mudanya, dia sudah susah-payah beribadah. Lalu kenapa dia dilarang masuk sorga. Tapi apa pula mau dikata. Tak mungkin kakek Slamet mengalahkan malaikat itu. Akhirya kembalilah Slamet ke tempat antriannya. Belum lama dia duduk, kantuk kembali menyekapnya. Tertidurlah dia.
Empat puluh tahun berlalu. Pintu gerbang kembali di buka. Namun lagi-lagi Slamet tak terbangun. Baru saat pintu itu tertutup dia baru bangun. Seperti dulu malaikat Ridwan hanya tersenyum, dan menyuruhnya menunggu empat puluh tahun lagi. Menyakitkan. Sangat mengecewakan. Kali ini dada Slamet lebih panas. Orang terakhir yang dilihatnya tadi saat memasuki sorga adalah Surya, cucu satu-satunya.
Begitulah. Berulang-ulang pintu sorga terbuka dan tertutup setiap empat puluh tahun sekali. Dan tidur selalu menjadi penyebab Slamet tak bisa masuk sorga. Sungguh sangat tak Beruntung! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar