Senin, 03 Januari 2011

Meja Hijau SyamAs I/Jan/2011: Hukum Ekonomi Syariah: Baru VS Kontekstual

Oleh: Guspur (Mahasiswa AS angkatan 2008)

Perbankan syariah yang kiprahnya  di Indonesia sudah berhasil menjadi image bahwa sistem perbankan tanpa bunga (interest free) bisa menahan momok yang sangat ditakuti (negative spread) ketika terjadi krisis global sekalipun. Dari tahun 1970 an yang masih berupa diskusi teoritis hingga sekarang yang sudah berkembang dan tumbuh pesat. Namun perkembangan ini belum lengkap karena investor-investor asing masih takut untuk melakukan kegiatan perbankan syariah di Indonesia karena masih belum ada kejelasan payung hukum (umbrella provision) untuk kelancaran eksistensi perbankan mereka.
Lalu secara bertahap keberadaan bank syariah menjadi ko-eksistensi dengan adanya UU. no. 10 tahun 1998 sebagai perubahan dari UU. No. 7 tahun 1992, sejumlah peraturan lainnya, hingga diterbitkannya UU no. 21 tahun 2008. permasalahan sengketa juga ditegaskan menjadi kewenangan Pengadilan Agama mulai UU. No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama dan sudah disusun pedoman penanganannya dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang disusun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 tahun 2008.
UU. no. 21 tahun 2008 diatas menyerahkan permasalahan sengketa perbankan syariah kepada Pengadilan agama dengan Penanganan hukum ekonomi syariah berdasar UU. No. 3 tahun 2006, yaitu meliputi perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah seperti:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
dan
k. bisnis syari’ah.
Perkembangan ini sangat mendukung sebagian besar warga Negara Indonesia yang beragama Islam untuk tidak takut lagi menjalankan aktivitas yang sesuai dengan nilai-nilai syariah. Permasalahan yang muncul sekarang adalah peran supremasi hukum tentang perbankan syariah di Indonesia baik formil atau materiil dan kesesuaiannya terhadap perkembangan pesat (akselerasi) dari kegiatan perbankan syariah itu sendiri. Pertama pada kewenangan Pengadilan Agama secara materiil sendiri masih menjadi polemik dari awal kemunculan Kompilasi Hukum Islam (KHI) hingga sekarang yang baru saja menyelesaikan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Kehadiran KHES tak jauh beda dengan KHI yaitu hanya terkesan hanya sebagai pedoman hakim dalam penanganan sengketa karena berdasarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 02 tahun 2008, sedangkan KHI juga hanya berdasarkan INPRES (Instruksi Presiden) No 1 Tahun 1991 yang mana pihak dari pelaku kegiatan hukum perdata  hanya bisa berharap bahwa kesan pedoman juga bisa menjadi cikal-bakal undang-undang produk legislasi. Tentu saja dengan segala kontroversi yang terus terjadi antara positivisasi hukum Islam atau cukup dengan normativisasi hukum Islam di Indonesia.
Dan kedua adalah akselerasi terhadap kaum perbankan dengan berbagai inovasi dan perkembangan yang begitu pesat tentunya membutuhkan kesesuaian hukum jika terjadi permasalahan atau sengketa yang nantinya akan ditangani oleh Pengadilan Agama (PA). Kebutuhan perbankan yang semakin heterogen karena harus memperhatikan dan melindungi para pihak yang ada didalamnya seperti pemilik modal atau nasib para debitur memerlukan konsekuensi atau regulasi baik administratif atau sanksi hukum yang sesuai atau kontekstual.
Kebutuhan yang berkembang ini terlihat dari barometer menjamurnya usaha-usaha keuangan syariah seperti bank atau koperasi sebagai perjuangan menyetarakan posisi dengan anak emas pemerintah di bidang perbankan yaitu usaha perbankan konvensional. Perjuangan ini dilakukan mengingat dasar perbankan naisonal memang berbasis pada paradigma kapitalistik dimana interest atau bunga menjadi instrument terpenting dari sebuah bank. Permasalahan ini bisa dicarikan solusinya apabila pemerintah dan bank sentral melakukan kebijakan secara sama (equal treatment) terhadap kedua jenis perbankan ini. Sehingga apa yang disebut ko-eksistensi antara bank konvensional dan syariah diwujudkan bersama-sama. Dan nantinya semoga akan berakhir pada komunikasi dua pihak antara pihak aparatur hukum dan pelaku perbankan atau ekonomi sehingga menghasilkan hukum yang tidak represif, kuat, dan sesuai atau kontekstual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar