Senin, 31 Januari 2011

Supremasi Hukum Islam di Indonesia Analisa Sejarah, Politik, dan Perundang-Undangannya

A. Masa Pra Penjajahan
Hukum Islam adalah hukum yang mencakup semua atau bersifat universal. Karena Islam sendiri dijanjikan oleh Allah sebagai agama yang fleksibel dan whenever it is true (kekuatan kebenaran kapan saja), bisa masuk ke semua lini dan waktu, tidak pandang bulu namun tetap mementingkan keadilan. Terbukti dengan berbagai ayat al Qur’an yang banyak mengandung hukum namun juga memberikan otoritas manusia sesuai dengan kemampuannya melalui kemudahan-kemudahan pelaksanaan konsekuensi hukum namun tetap mengikat. Begitu juga masuknya Islam di Indonesia dengan menempuh jalur damai yang dibawa oleh komunitas muslim pada abad ke-7 dan 8 Masehi atau tahun pertama Hijriyah. Kemunculan masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Memberikan angin segar bahwa Islam diterima di Nusantara hingga berkembang menjadi beberapa kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Malaka, Demak, dan sebagainya. Hukum Islam masih berlaku sebagai penerapan kajian fiqih yang berasal dari Negara tempat turunnya Islam, dan penyesuaian terhadap nusantara dilakukan dengan fakta adanya penulisan literatur fiqh oleh mereka sekitar abad 16-17 Masehi. Kenyataan ini, menurut satu sumber, salah satunya adalah karena jasa Nuruddin al-Rinary (w. 1077 H/1666 M) di Aceh, yang menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab ini merupakan kitab pertama yang disebarkan ke seluruh wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan umat Islam dalam menyelesaikan persoalan hukum mereka. Bahkan saat Belanda datang dan masih menjalin “hubungan baik” dengan nusantara melalui perdagangan atas komunitas VOC (Verenigde Qost Indische Companie), hukum Islam masih bebas digunakan dan pembuatan hukum juga dibantu oleh para ahli dari Belanda yang melakukan penelitian. Kemudian disusul dengan berbagai pegangan kitab ulama lainnya yang digunakan untuk menentukan hukum, sehingga hukum Islam berjalan seperti adat bersanding dengan adat lama yang diadopsi dari agama Hindu atau Budha. Tak jarang masyarakat Jawa yang beragama 3 sekaligus yaitu muslim, budhis dan hindu.
Politik pada masa ini masih dalam koridor kerajaan per daerah kekuasaan, dan hukum Islam sedikit banyak diterima dan mempengaruhi pemerintahan terbukti dengan adanya jabatan Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku Mufti, Tuanku Kadi, di samping para raja dan bupati, sampai jabatan Lebai, Modin, Kaum, dan sebagainya di samping Lurah, Kepala Nagari/Kampung. Hukum yang ada tergantung pada kesultanan atau pemimpin kerajaan masing-masing, dan diterapkan kepada rakyatnya masing-masing juga, sudah ada kerajaan yang saling berhubungan dan penyebaran aliran hukum Islam sesama kerajaan Islam juga sudah terjadi.
Saat kedatangan VOC juga ikut menguasai nusantara, seperti dijelaskan diatas, pemerintah Belanda belum memasukkan paham kolonialisme, hukum positif Belanda juga diberlakukan kepada rakyat nusantara yang mereka anggap sebagai pribumi atau bumi putera. Mereka sudah berhasil masuk ke dalam pemerintahan dan pada waktu belum ada tindakan yang merugikan hukum Islam dan masih banyak menguntungkan. Sejarah perundangan pemerintah VOC mencatat adanya formalisasi hukum Islam melalui staatblad, Statuta, Regeringsreglement/RR, Indische Staatsregeling’ (I.S.) dan sebagainya. Dan Cristian van den Berg (1845-1927 M) juga mengeluarkan teori Receptio in Complexu yang menegaskan bahwa hukum Islam masih digunakan secara mayoritas pada masa ini. Tidak main-main, Belanda juga membuatkan Priesterraad pada masing-masing wilayah Landraad

B. Masa Penjajahan
Saat VOC atau Belanda sudah memasukkan misi kolonialismenya ke pemerintahan, dan teori Receptio in Complexu “dikebiri” oleh Cornelis van Vallenhoven (1874-1933) dan dipopulerkan oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) menjadi teori Receptie hukum Islam dalam perundang-undangan berkurang kuantitas dan ruang lingkupnya. Politik ini berlaku Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan karena kecurigaan pemerintah terhadap hukum Islam yang akan membahayakan Belanda, tentunya dengan peran orientalis Snouck Hurgronje yang memang sengaja untuk memojokkan Islam hingga oleh orang Islam dia dianggap sebagai pembuat teori Iblis (receptie). Usahanya berhasil membuat kadar kekuatan Hukum Islam dalam konteks perundang-undangan atau formal berkurang walaupun tidak hilang sepenuhnya. Politik ini karena adanya prinsip Divide et impera . Latar belakang Belanda tentunya karena takut semakin banyak yang memeluk agama Islam sebab persatuan orang Islam yang melawan penjajahan kala itu.
Ketakutan di atas membuat politik Belanda menghasilkan hukum yang memisahkan golongan rakyat Indonesia menjadi beberapa golongan yang berlaku hukum sendiri-sendiri. Pengaruh ekonomi adalah motornya, dan kolonialisme adalah imbasnya terhadap Indonesia yang sangat merugikan Islam. Peraturan Staatblad atau IS dirubah, dikhususkan, atau di tambah dengan aturan baru yang bertujuan untuk latar belakang di atas. Aturan klimaksnya tercermin pada Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Pada waktu Jepang datang (1942 M), politik hukumnya tidak berbeda dengan politik hukum penjajahan belanda. Dalam perundang-undangan pun tidak ada perkembangan yang berarti, namun jepang memberi sedikit kesempatan kepada umat muslim untuk memimpin sendiri lembaga agamanya dan ijin terhadap perkembangan intelektualitas agama juga agak lebih leluasa, karena Jepang ingin memanfaatkan kekuatan Islam itu sendiri.

C. Masa Kemerdekaan
Pengaruh Jepang lepas, BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang sengaja dibuat Jepang untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Politik masih mengalami transisi dan mulai mencari sosok pemimpin. BPUPKI sendiri adalah kunci dari politik hukum selanjutnya. Sayangnya Jepang lebih mendukung kubu dari tokoh nasionalis daripada muslimin. Maka hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Hasil akhir adalah kata-kata diatas dihapus dan dalam Pembukaan UUD 45 (konstitusi) diganti dengan kata “Yang Maha Esa”.

D. Orde Lama
Selepas Kemerdekaan, hukum Islam masih belum berkembang secara masiv karena persiapan negara yang lebih rumit masih menunggu. Sayangnya niat jahat Belanda yang ingin menguasai pemerintahan Indonesia menghambat proses tersebut. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Negara Indonesia terdiri dari 16 negara bagian. Konstitusinya tidak mendukung hukum Islam, dan terkesan mendukung antek-antek liberalisme.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Posisi hukum Islam belum mempunyai daya tawar yang besar saat ini. Dalam konstitusi ini, posisi hukum Islam hanya ada pada pasal 34 saja. Belum ada rumusan undang-undang menyangkut hukum Islam yang berhasil dirumuskan, sudah ada usaha untuk membuat UU tentang Perkawinan Islam namun terhadang oleh usaha kaum nasionalis. Perjuangan supremasi hukum Islam terganjal politik yang otoriter sehingga hukum tidak responsif.
Sampai pada Dekrit Presiden Soekarno, Hukum Islam menjadi lebih jelas karena konstitusi kembali kepada UUD 45. Dan lagi-lagi karena perpolitikan saat itu masih terpusat pada eksekutif maka usaha pembuatan perundang-undangan menjadi dominan padanya. Akses aspirasi hukum Islam juga terputus apalagi dengan dibubarkannya Masyumi (1960)

E. Orde Baru
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun Masyumi masih dianggap “berbahaya di bidang politik”, setidaknya intelektualitas muslim mulai bisa bernafas lega untuk menggawangi supremasi hukum Islam saat ini. K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970 tentang kekuasaan kehakiman yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dan usaha-usaha positivisasi hukum Islam berlanjut untuk mencari kepastian hukum (law enforcement) yang telah lama hilang karena teori receptie, dan muncullah UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian hukum Islam dengan sendirinya berkembang dan sejajar dengan hukum lainnya termasuk hukum adat. Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989 bahkan demi kepentingan umat disusunlah UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998). Dan peraturan-peraturan yang lain.

F. Era Reformasi – sekarang
Iklim demokrasi yang sudah berkembang menjadikan politik saat ini lebih responsif, peraturan-peraturan baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat pun dicanangkan tak terkecuali hukum Islam. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dan banyak lagi produk hukum Islam yang muncul yaitu: UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38/ 1999 tentang Pangelo!aan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS), UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam, UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam, UU No. 4 1/2004 tentang Wakaf, Perubahan atas UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agarna menjadi UU No. 3,2006 dan sekarang uu no. 50 tahun 2009.

Diskusi AS 22/1/2011: Kekuatan Hukum Islam di Indonesia


Notulensi diskusi 22 Januari 2011
Hari Sabtu tanggal 22 Januari 2011 HMPS AS STAIN Pekalongan mengadakan diskusi pertamanya pada periode ini. Diskusi kali ini bertemakan tentang kekuatan hukum Islam di Indonesia. Tema ini mengungkap tentang kesesuaian hukum Islam di Indonesia dengan kondisi masyarakat plural yang ada. Para peserta diskusi berusaha membedah hukum Islam yang bagaimanakah yang kuat menurut paradigma masyarakat Indonesia?. Pada awal diskusi yang diadakan di cafe Nerro kepunyaan Muhammad Isa ini disampaikan wacana pengantar oleh Miqdam Yusria Ahmad (angkatan 2008) tentang sejarah kekuatan hukum Islam di Indonesia berupa kajian sejarah, politik hukum dan status peraturan perundang-undangannya. Klik disini untuk melihat tulisannya. 
Lalu diskusi pun dimulai sekitar jam 10 pagi. Sambil berdiskusi, ada beberapa minuman yang dinikmati oleh para peserta, ada kopi hitam, esteh dan teh hangat yang siap menghangatkan peserta. kemudian ada kudapan rujak ala Mbak-mbak AS yang sudah berpengalaman bertahun-tahun dalam mengulek sambel rujak ditambah kacang rebus yang siap dikuliti peserta yang menunggu peserta lain untuk ber opini.

Sambil menyeruput kopi, peserta diskusi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang pro dan kontra terhadap positivisasi hukum islam di Indonesia. Dan berikut ini adalah cuplikan dari dialog yang mengalir dalam diskusi hari ini.

# Abdur Rahim [angkatan 2010] (pro): Bagaimanakah bentuk hukum yang dianggap menjadi kekuatan hukum Islam di Indonesia?
Tanggapan:
# M. Gufron [angkatan 2008] (pro): hukum Islam yang kuat adalah hukum yang patut di undangkan karena Indonesia tidak berpikir secara pluralis menurut saya, sebab adat termasuk juga presepsi dari hukum Islam.
# Nurul Maisyal [angkatan 2009]: (kontra)  Menurut saya Hukum yang diundangkan harus perdata atau pidana saja. Tidak bisa keduanya, karena agama tidak patut dianggap sebagai polisi agama (yang mengurusi masalah ibadah, aqidah, dll. Red).
# Irfandi [angkatan 2009] (pro): Paham negara sebagai negara sekuler, simbiotik (saling menguntukan namun tidak integral dalam bentuk fasilitas atau dukungan infrastruktur dll.) dan integralistik seperti saudi (agama dan negara saling mendukung) perlu dikaji ulang dengan kesesuaian terhadap kondisi di Indonesia. Secara demokrasi, rakyat Indonesia memang kebanyakan tidak setuju dengan kekuatan positivisasi hukum Islam, dan pada kenyataan atas nama demokrasi, mayoritas masyarakat Indonesia berpendapat bahwa hukum Islam tidak perlu diundangkan, terutama pendapat kaum nasionalis. Padahal sebagian besar rakyat Indonesia muslim. Jika demikian terkesan malah tidak menerapkan demokrasi, contoh di cianjur ada perda syariah yang karena menurut warga di situ menganggap bahwa Islam patut diundangkan, namun kaum nasionalis menganggap bahwa perda di cianjur itu tidak demokratis. Sedangkan bisa dilihat bukti bahwa masyarakat aceh sudah menunjukkan kedemokratisan situasi yang kaum nasionalis takutkan. lalu sebenarnya penghalang formalisasi Islam itu apa?
# Wildan[angkatan 2010] (pro): di Pembukaan UUD jelas donk, kalo sudah ada benih hukum Islam untuk kita dukung penuh menjadi positif. (dalam kalimat “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa...”
Tanggapan:
# M. Isa [angkatan 2008] (kontra): Definisi demokrasi Aceh seperti apa ? Apakah referendum dijadikan sebagai tolak ukur demokrasi? lalu apa gunanya rakyat jika yang dimaksud adalah seperti yang di atas, bagaimana peran pemerintah yang seharusnya menjadi pengambil keputusan terhadap apa yang diinginkan rakyatnya? Apakah situasi penuh referendum (seperti yang ada di aceh.red) diatas  tidak malah membuat Indonesia lebih terpecah belah?
Lalu UUD memang diawali pembukaan namun dalam pasal 29 menganggap bahwa agama bisa diikuti masing masing individu.
# M. Gufron (pro): Kalau alasan demokrasi perlu dipertanyakan apakah demokrasi sesuai dengan nilai Islam? Karena ada ulama yang bernama syekh Maudud (kalau ga salah.red) yang menolak adanya paham demokrasi dalam negara Islam, alasannya karena bisa membubarkan agama, sebab, pada hakikatnya agama berputar pada masalah ruhaniyah. Jadi harus ada pemisah antara negara dan agama untuk menerapkan demokrasi (letak yang sesuai).
# Irfandi (pro): hukum Islam di Indonesia menurut kompetensi Ahwal Syakhshiyyah adalah hukum Islam di Indonesia sampai yang terluas. Islam tidak pandang bulu dengan hukum salah satu golongan (subjek hukum) karenanya jika hukum Islam diberlakukan maka objek hukum selain Islam pun bisa masuk bahkan terlindungi. Jadi setuju untuk memberlakukan hukum Islam secara kaffah bagi siapa saja dan dimana saja di dalam satu negara Indonesia. Karena Islam juga mengatur kepentingan orang non muslim. Jadi Islam sangat demokratis. Lalu kenapa hukum Islam terdikotomi? Alasannya adalah hukum perundang-undangan atau peraturan kita tidak lain adalah warisan dari pemerintah belanda. Menurut saya harus ada pembaharuan sebagai hukum yang revolutif dan sesuai dengan nilai Indonesia.
# Abdur Rahim (pro): demokrasi dalam hukum Islam sudah sesuai, karena ada ketetapan bersama dalam keagungan hukum Islam itu sendiri, yang jadi masalah itu adalah tentang ibadah mahdhoh seperti wakaf haji dll yang hanya khusus untuk orang muslim, lalu gimana jika bersentuhan dengan orang non muslim?
# Agung bisyara [angkatan 2009] (kontra): nilai apakah yang dimasukkan dalam hukum pidana Islam yang positif? Apa materiil atau formil?
# Irfandi (pro) (menjawab agung): ada 5 maqashid syariah, dan untuk itu hukum Islam di Indonesia tidak harus secara utuh mengandung hukum Islam, namun bisa secara nilainya saja dengan catatan porsi nilai yang dilebihkan atau dominan. Selama ini hukum Islam hanya bersifat normatif, tidak adanya keadilan disebabkan mengandalkan pembuktian saja. Tidak sesuai dengan pandangan nilai keadilan dalam Islam. Oleh karena itu dipandang perlu ada pembuktian terbalik, untuk masalah yang normatif atu susah dibuktikan, untuk memasukkan nilai-nilai yang adil dan sesuai tujuan syariat Islam. So pada saat ini hukum Islam di Indonesia ini sangat lemah, harus dikuatkan dengan positivisasi.
# Abdur Rohman: (pro) kalo sudah ada kesepakatan bagi orang Islam terhadap peraturan yang berlaku maka selesai pembahasan. Tidak perlu membahas ketidak sepakatan dari orang non Islam, karena kesepakatan orang  Islam juga tidak dilakukan oleh orang non muslim kok? Ikuti saja, ga usah pikirkan pendapat orang non muslim. 
# Khairul [angkatan 2010]: (pro) Hukum Islam jangan di pandang secara normatif.
# M. Isa: (kontra) harus mencari hakikat hukum Islam, bukan definisi hukum Islam, karena jika tau hakikat maka definisi akan dipahami secara bijak.
Tanggapan terhadap mas Irfandi (pro): yang dominan dalam maqashid syariah adalah yang hifdun nafs saja, karena dalam hukum orang bisa melakukan pembelaan secara individual. Tidak setuju kalau hukum Islam diterapkan untuk seluruh Indonesia karena Indonesia tidak seluruhnya Islam. Lebih baik sebagai norma saja.
# M. Gufron (pro): tanggapan terhadap M. Isa. Intisari dari hukum Islam itu termasuk fiqih dan kaidah dalam Islam lainnya. Jadi nanti masuk semua aturan terhadap subjek hukum, harusnya minoritas harus ikut yang mayoritas (mayoritas Indonesia Islam harus pake hukum Islam)
# M. isa: tanggapan dari M. Gufron (pro) : Minoritas kadang boleh menang, begitu juga dengan mayoritas tergantung kemauan masing masing. Aturan tidak semuanya harus diundangkan karena kemajemukan masyarakat Indonesia. Karena nanti bisa tidak sesuai.
# M. Gufron (pro): tanggapan kpd m.isa di atas: harus ingat sejarah secara tasawuf, nabi Muhammad yang minoritas kata Mas Isa itu pernah menang dengan kelahiran awal dari para nabi.
# M. Isa: tanggapan lagi: nur muhammad yang lahir sebelum lainnya belum mengeluarkan tentang hukum yang realistis.

# Nurul Maisyal (kontra): tidak setuju untuk positivisasi hukum Islam, karena Indonesia sendiri sudah ada multi religi 5 agama, jadi sebagai sikap Islam harus berlaku egaliter dengan memandang keadilan antar agama. Jadi tidak mengganti hukum yang telah ada.
# Irfandi (pro): Sekali lagi, hukum Islam tidak akan memarjinalkan masyarakat non muslim, jadi sangat adil dan lebih membebaskan kalo hukum Islam di undangkan. Contoh keberhasilan aceh, tentang ekonomi mereka lebih maju dengan sistem ekonomi yang diterapkan termasuk jika diterapkan dengan yang non Islam. Kesimpulan: positivisasi hukum Islam tidak akan mencederai pluralisme. Dan tidak perlu menerapkan kekerasan atau pemaksaan kehendak dalam melaksanakan agar image Islam sendiri tidak tercederai.
# Surotul Mustaqimah [angkatan 2009] (kontra): yang tidak sesuai jika hukum Islam jika dilakukan terhadap keseluruhan, tapi jika lingkupnya lebih sempit (hanya dalam aceh).
# Wildan (pro): yang kita pro kan yang sempit  itu sebagai contoh saja, tapi tidak membatasi yang sempit, kita setuju dengan menerapkan secara menyeluruh di Indonesia.
# M. Isa: bukan hukum Islamnya yang menyebabkan perdamaian pada wilayah yang hukum Islamnya berhasil, tapi karena individu masing-masing warganya yang bersikap lebih toleran.
# M. Gufron (pro): ada hak opsi untuk hukum Islam jika di positivkan.
# M. Isa: kontra: hukum Islam jika berlaku secara kolektif maka kitab agama lain dan aturan agama lain otomatis tidak berlaku dan diganti dengan hukum Islam seluruhnya. Lalu gimana solusi terhadap agama lain yang tidak setuju?
# M. Gufron (pro): Indonesia menurut sahal mahfud adalah negara Islam, karena sejarah Indonesia berawal dari nilai-nilai agama Islam. Lalu?
# Irfandi (pro) : seperti yang sudah dijelaskan diatas. negara Indonesia tetap negara Indonesia jika memakai hukum Islam secara menyeluruh, karena jika diterapkan juga memang sudah sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Dan Hukum Islam diberlakukan dengan beberapa catatan yang diatas.

Diskusi diakhiri para peserta dengan tanpa kesimpulan karena mereka bersepakat bahwa diskusi kali ini hanya untuk membedah tema yang luas untuk mengantarkan kepada tema materi berikutnya yang lebih sempit. Diskusi kali ini berakhir sekitar jam 12.30 wib. Dan diskusi selanjutnya adalah "Status hukum perdata Islam di Indonesia" yang rencananya akan mengambil bantuan dari salah satu dosen untuk menjadi rujukan. 

Selasa, 11 Januari 2011

Pembagian Kelas Pelatihan Ebook Islami Prodi Ahwal Syakhshiyyah Program Reguler STAIN Pekalongan 2011

Hari: SABTU
TGL: 15 JANUARI 2011

Part I (08.00 – 10.00 WIB)
No
Nama
NIM
1
Umi Afidah
231107051
2
Nur Aini
231107025
3
Guspur
231108018
4
Muhammad Isa
231108051
5
Ahmad Yahya
231108022
6
Jahirin
201109004
7
Lenny Yulia Asfaningtias
231108039
8
Ani Royani
231108046
9
Arin Lu’a Meliati
231108016
10
Badeatul Sholikhah
231108021
11
Inayah
231108038
12
Siti Solikha
201109003
13
Qurrota A’yun
201109020
14
Khabibah
201109040
15
Dewi Purna Rahmawati
201109008
16
Ardi Yanto
201109029
17
Muhammad Slamet Rifa’i
231108048
18
Wikhdatul Fikriyah
201109013
19
Mustofa Kamal
231108049
20
Slamet Ridwan
231108041
21
Miqdam Yusria A
231108044

Part II (10.00 – 12.00 WIB)
No
Nama
NIM
1
Rosidah Ulfa
2011110059
2
Kiki Rukiana
2011110033
3
Aim Maturrohmat
231107039
4
Heru Budianto
231108023
5
Muhammad Hakim
201109012
6
M. Nasrul Fikri
201109010
7
Ubaidillah Bukhori
231107068
8
A. Munif
201109009
9
Tsaqiful Ghofur
201109027
10
Tohirin
231107040
11
Fariza M Tsaquf
201109022
12
Amri Yahya
231108031
13
Gatot Iriyanto
231108025
14
Zaqi Mubarok
231107027
15
Muhamad Muzaki Mubarok
231107030
16
Alfiyah
201109034
17
Emili Anadini W.
201109005
18
Khaerul Ardhian Syaekh
231108012
19
Khoirul Hidayat
2011110077
20
Agoes Noor Faozan Alim
231108027
21
Akhmad Syaroful Amin
201109043 

NB: Pendaftaran sudah ditutup karena komputer di interzone terbatas, dan penyelenggaraan hanya diadakan untuk 2 shift saja, bagi yang mau membatalkan pendaftaran harap konfirmasi secepatnya ke nomor 085641322768 (miqdam)

Senin, 03 Januari 2011

Meja Hijau SyamAs I/Jan/2011: Hukum Ekonomi Syariah: Baru VS Kontekstual

Oleh: Guspur (Mahasiswa AS angkatan 2008)

Perbankan syariah yang kiprahnya  di Indonesia sudah berhasil menjadi image bahwa sistem perbankan tanpa bunga (interest free) bisa menahan momok yang sangat ditakuti (negative spread) ketika terjadi krisis global sekalipun. Dari tahun 1970 an yang masih berupa diskusi teoritis hingga sekarang yang sudah berkembang dan tumbuh pesat. Namun perkembangan ini belum lengkap karena investor-investor asing masih takut untuk melakukan kegiatan perbankan syariah di Indonesia karena masih belum ada kejelasan payung hukum (umbrella provision) untuk kelancaran eksistensi perbankan mereka.
Lalu secara bertahap keberadaan bank syariah menjadi ko-eksistensi dengan adanya UU. no. 10 tahun 1998 sebagai perubahan dari UU. No. 7 tahun 1992, sejumlah peraturan lainnya, hingga diterbitkannya UU no. 21 tahun 2008. permasalahan sengketa juga ditegaskan menjadi kewenangan Pengadilan Agama mulai UU. No. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama dan sudah disusun pedoman penanganannya dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang disusun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 tahun 2008.
UU. no. 21 tahun 2008 diatas menyerahkan permasalahan sengketa perbankan syariah kepada Pengadilan agama dengan Penanganan hukum ekonomi syariah berdasar UU. No. 3 tahun 2006, yaitu meliputi perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah seperti:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga
berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
dan
k. bisnis syari’ah.
Perkembangan ini sangat mendukung sebagian besar warga Negara Indonesia yang beragama Islam untuk tidak takut lagi menjalankan aktivitas yang sesuai dengan nilai-nilai syariah. Permasalahan yang muncul sekarang adalah peran supremasi hukum tentang perbankan syariah di Indonesia baik formil atau materiil dan kesesuaiannya terhadap perkembangan pesat (akselerasi) dari kegiatan perbankan syariah itu sendiri. Pertama pada kewenangan Pengadilan Agama secara materiil sendiri masih menjadi polemik dari awal kemunculan Kompilasi Hukum Islam (KHI) hingga sekarang yang baru saja menyelesaikan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Kehadiran KHES tak jauh beda dengan KHI yaitu hanya terkesan hanya sebagai pedoman hakim dalam penanganan sengketa karena berdasarkan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 02 tahun 2008, sedangkan KHI juga hanya berdasarkan INPRES (Instruksi Presiden) No 1 Tahun 1991 yang mana pihak dari pelaku kegiatan hukum perdata  hanya bisa berharap bahwa kesan pedoman juga bisa menjadi cikal-bakal undang-undang produk legislasi. Tentu saja dengan segala kontroversi yang terus terjadi antara positivisasi hukum Islam atau cukup dengan normativisasi hukum Islam di Indonesia.
Dan kedua adalah akselerasi terhadap kaum perbankan dengan berbagai inovasi dan perkembangan yang begitu pesat tentunya membutuhkan kesesuaian hukum jika terjadi permasalahan atau sengketa yang nantinya akan ditangani oleh Pengadilan Agama (PA). Kebutuhan perbankan yang semakin heterogen karena harus memperhatikan dan melindungi para pihak yang ada didalamnya seperti pemilik modal atau nasib para debitur memerlukan konsekuensi atau regulasi baik administratif atau sanksi hukum yang sesuai atau kontekstual.
Kebutuhan yang berkembang ini terlihat dari barometer menjamurnya usaha-usaha keuangan syariah seperti bank atau koperasi sebagai perjuangan menyetarakan posisi dengan anak emas pemerintah di bidang perbankan yaitu usaha perbankan konvensional. Perjuangan ini dilakukan mengingat dasar perbankan naisonal memang berbasis pada paradigma kapitalistik dimana interest atau bunga menjadi instrument terpenting dari sebuah bank. Permasalahan ini bisa dicarikan solusinya apabila pemerintah dan bank sentral melakukan kebijakan secara sama (equal treatment) terhadap kedua jenis perbankan ini. Sehingga apa yang disebut ko-eksistensi antara bank konvensional dan syariah diwujudkan bersama-sama. Dan nantinya semoga akan berakhir pada komunikasi dua pihak antara pihak aparatur hukum dan pelaku perbankan atau ekonomi sehingga menghasilkan hukum yang tidak represif, kuat, dan sesuai atau kontekstual.

Sastra SyamAS I/Jan/2011: Slamet Untung

Oleh: Muhammad Isa Afnis (Mahasiswa AS angkatan 2008)

Sesosok tua tertidur diatas sebuah kursi goyang di beranda rumahnya. Liurnya mengalir tak henti, membasahi pipi sampai ke kuping dan lehernya. Koran pagi dan segelas teh yang tinggal setengah teronggok di meja, di sampingnya. Matahari sudah lebih dari setombak. Sinar hangat menerpa wajah laki-laki tua itu tanpa ampun. Bulir-bulir keringat mulai menyemai dahi laki-laki itu. Di depan sana lalu-lalang manusia- manusia, kendaraan bermotor, jerit anak-anak kecil berbaur dengan kepulan asap karbon dan teriakan-teriakan penjaja asongan, benar-benar bising. Sungguh hari yang sibuk dan ramai sekali. Tapi seakan batuan karang yang tegar oleh gelombang debur ombak yang menerpanya, laki-laki itu tetap saja tenang, tidur dengan lelapnya.
Di rumah yang terletak di seberang pasar itu, laki-laki itu hanya hidup berdua cucunya, yang masih kecil. Seorang anak yang tak berani memimpikan masa depan, sebab nasib kurang berpihak kepadanya. Jadilah dia sebagai pedagang asongan. Di umurnya yang baru sebelas tahun, anak laki-laki itu sudah terampil benar menata kacang rebus, rokok-rokok, permen, tisu dan beberapa barang lagi dalam tempat jualannya. Sebuah tempat jualan sederhana yang terbuat dari kayu. Tangan laki-laki tua itulah yang membuatnya. Di usianya yang baru sebelas tahun, sudah mahirlah anak itu dalam menjajakan dagangannya.
“Kacang rebus, kacang rebus, kacang rebus.....rokok, rokok, rokok....”. begitulah mantra-mantra yang sangat dihapalnya, yang terus dia teriakkan, demi mengais rezekinya saban hari.
Kira-kira jam sembilan siang, pintu depan rumah itu terbuka. Dari dalam rumah Surya, anak asongan itu, keluar dengan berkalung wadah dagangan lengkap dengan segala isinya. Demi dilihatnya kakek tersayangnya tertidur di atas kursi goyang, Surya hanya tersenyum kecut. Teringat olehnya, betapa sejak sore kemarin sampai tengah malam, kakeknya itu tidur di kamarnya. Kuat benar laki-laki tua itu.  Surya kembali masuk ke dalam rumahnya, sebelum beberapa saat kemudian dia keluar lagi. Kali ini tangan mungilnya membawa sepiring ubi rebus yang masih mengepul asap. Ditaruhnya sepiring ubi panas itu diatas meja, di samping kakeknya. Tak berani Surya bengunkan orang tua itu, untuk sekedar berpamitan dan memohon doanya. Jangan sekali-kali berani membangunkan kakek. Itu sama artinya kamu terperosok di mulut singa yang kelaparan. Biarkan saja Slamet Untung, nama laki-laki tua itu bangun sendiri dari setiap tidurnya yang panjang-panjang.
Sinar matahari mulai terasa hangat menerpa punggung Surya. Segera saja anak itu menyeberang jalan, menaiki sebuah angkot di depan pasar. Secepat nanti dia sampai di terminal, secepat itu pula dia bisa mengadu nasib, mencari rezeki demi menyambung nyawa.
Setiap hari, tanpa libur kerja, begitulah pekerjaan Surya. Setelah sholat shubuh mesti memasak air. Kakeknya suka mandi air hangat setiap pagi. Saat kakeknya mandi, Surya harus menyediakan segelas teh hangat dan koran pagi. Sewaktu dia masuk ke rumah untuk menata barang dagangannya, kakek kesayangannya itu pasti sedang membaca koran dan sesekali menyeruput teh panas buatannya. Nanti, setelah selesai dia bersihkan seluruh ruang dan isi rumah, setelah ada sesuatu untuk sarapan kakeknya, barulah Surya keluar rumah. Yang di dapatinya selalu saja dengkur keras kakeknya diatas kursi goyang itu. Sore hari, saat dia pulang nanti, seringkali yang didapatinya tetap saja dengkur pulas itu. Yang berubah hanyalah sarapan yang disiapkannya, habis tak bersisa. Kakeknya baru bangun sesaat saja, sebelum adzan maghrib berkumandang. Gemericik air, seperti orang wudlu, menyenangkan hati surya. Langkahnya ringan menuju masjid kecil di belakang pasar.
Di terminal, diantara ramainya lalu-lalang orang, mata Surya terpana sewaktu menyaksikan seorang nenek-nenek begitu tangkas naik-turun bus, menjajakan berbungkus-bungkus jahe hangat. Enam puluhan tahun, begitulah kira-kira taksiran Surya perihal umur nenek itu. Nyaris tak terlihat kelelahan membalut wajah nenek itu. Surya menyungging senyum takjub demi menyaksikan pemandangan di depannya. Sekelebat wajah kakeknya hinggap di benaknya. Sesosok pemalas yang cuma kuat saat tidur saja. Ah, betapa kakeknya itu hampir-hampir tak pernah mau bekerja. Pekerjaan utamanya ya cuma tidur itu!. Seuntai senyum kembali menghias bibir Surya. Namun kali ini senyum getir.
Hampir maghrib Surya baru sampai rumahnya. Dan benar saja, lagi lagi yang menyambut kedatangannya adalah dengkur pulas kakeknya. Surya mencoba merayapi wajah kakeknya itu. Pikirannya kembali merangkai hari-hari lalu yang dilewatinya bersama laki-laki di depannya itu. Ah, betapa dulu dari mulut laki-laki itu, sebuah dongeng tentang pahlawan, semangat kerja, giat belajar, toleransi, patriotisme, mengantar Surya ke dalam mimpi. Dan, ternyata, seingat Surya, hanya itu saja yang menarik untuk diingatnya. Yang lain hampir-hampir tak ada. Sebab, memang dari dulu pula lah kegemaran tidur itu menguasai kakeknya. Soal ibadah pun demikian. Setiap saat laki-laki tua itu mengingatkan atau lebih tepatnya mendakwahi Surya, agar selalu beribadah dengan khusyuk dan ikhlas, tanpa harapan apapun kecuali ridha dari Allah SWT. Sangat bertolak-belakang-lah apa yang keluar dari mulut kakeknya dengan perbuatannya.
Tak terasa air mata terjatuh dari pelupuk mata Surya, melelehi pipinya yang cekung. Ketakutan tiba-tiba menghinggapinya. Umur lelaki di depannya semakin menua saja, sedang tak sekalipun dilihatnya kakeknya itu mengerjakan shalat.
Maghrib ini Surya sengaja sholat di Masjid. Mata tua kakeknya mengawasi tingkah-polah Surya yang tengah mempersiapkan sarung, kopyah dan dua lembar sajadah di kamar satu-satunya di rumah yang kecil itu. Seperti paham, lelaki tua itu segera mengambil wudlu. Dengan langkah tegap, laki-laki tua itu berdiri di depan Surya untuk menjadi imam. Hampir saja tangan lelaki tua itu terangkat, untuk takhbiratul ihram, sebelum sejurus kemudian tiba-tiba diajaknya duduk cucu satu-satunya itu. Tanpa berani menolak, Surya menurut saja. Laki-laki tua itu mulai berkata,
“Siang tadi aku bermimpi bercumbu bersama beberapa bidadari sorga, di sebuah taman yang sangat indah. Diantara bunga-bunga aneka warna yang elok menari diterpa semilir angin, mengalir sungai-sungai yang airnya begitu bening, hingga seluruh ikan dan benda-banda sungai lainnya tampak dari permukaan”.
Kakek itu menghela nafasnya. Dengan air muka berbinar-binar kembali dia lanjutkan cerita soal mimpinya itu.
“Beberapa pemuda gagah, yang agaknya malaikat-malaikat terus menari menghiburku. Mereka hanya bisa berhenti kalau-kalau aku menyuruhnya. Dan kamu tahu Surya, ternyata air sungai itu bisa langsung diminum. Kamu tak perlu takut bakal sakit perut, sebab air itu adalah air paling bersih yang pernah ada di dunia. Dan rasa air itu seperti yang terbersit dalam benakmu. Kalau kau bayangkan ingin meminum susu, maka terasa susu lah air itu di lidahmu. Kalau kau bayangkan rasanya seperti es kelapa muda, maka terasa dingin dan segar kelapa muda itu di bibirmu”.
Beberapa saat kakek itu menikmati keterpanaan Surya.
“Kau tahu Surya. Ternyata benarlah kalau aku sedang berada di sorga. Maka, aku jadi terharu mengingat betapa orang tuaku begitu jeli memilihkan nama untukku. Slamet Untung. Sebuah nama yang akhirnya aku buktikan kekeramatannya dengan berhasil memasuki sorga. Dulu, dari kecil hingga muda, kakekmu ini setiap hari kerjanya ibadah, ibadah, ibadah dan ibadah terus. Shalat jamaah tepat waktu menjadi rutinitas yang kecewa hati kakek bila tak melakukannya. Puasa senin-kamis tak jua mau kakek hentikan. Bagi kakek, dengan berpuasa maka semakin bersih lah jiwa kita. Dulu, orang tua kakek, kakek buyutmu begitu membanggakan anak mereka satu-satunya ini”, bagai sedang berakting film, kakek Slamet Untung menepuk dadanya yang kerempeng itu.
“Kakek buyutmu benar-benar bangga mempunyai anak sealim aku. Mungkin kamu menganggap ceritaku ini sebagai bualan. Kamu pikir kakekmu ini pembohong, sebab yang tampak di matamu, kakekmu ini cuma bisa tidur, benarkan ??”.
Tatatpan tajam kakeknya memaksa kepala Surya menggeleng ke kiri ke kanan.
“Bagus, bagus Surya....ayo sekarang kita shalat maghrib. Tak terasa hampir saja kita kehabisan waktu dari shalat yang mulia ini”.
Dalam shalatnya yang dijalankannya tanpa kekhusuyukan, Surya menatap punggung lelaki tua di depannya. Benar memang apa yang kau katakan, bahwa, betapa dulu kau terkenal paling rajin ibadah. Orang-orang sekitar pun mengakuinya. Namun, apa benar ibadah itu ada waktunya. Artinya, kelak, saat tua nanti, bolehlah kita kurangi intensitas ibadah kita, sebab Allah SWT pasti juga kasihan kepada kerentaan kita. Suatu kali nanti bahkan kita boleh tidak beribadah sama sekali. Ini dia pendapat dan alasan yang kerap diucapkan kakeknya untuk menjawab pertanyaan Surya, kenapa kakeknya tak shalat atau tak membaca Al-Qur’an, juga tidak lagi puasa senin-kamis seperti kebiasaannya dahulu. Ah, benarkah demikian ?. Belum sempat terjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak batinnya itu, tiba-tiba tubuh renta kakeknya melorot jatuh, mendebam lantai rumah. Seketika itu juga Surya berteriak ketakutan. Darah segar keluar dari mulut kakeknya. Seketika itu juga nyawa lelaki tua itu terlepas dari raganya. Surya menangis sejadi-jadinya.

***
Di depan sebuah pintu gerbang yang terbuat dari batu-batu permata bercampur emas, sesosok tubuh renta tertidur pulas. Di depannya antrian panjang orang-orang bermuka cahaya, bersih dengan senyum kemenangan tak pernah hilang dari bibir mereka. Di pintunya yang sangat besar, kokoh dan indah itu, tertulis “SORGA”.
Derit keras terbukanya gerbang sorga tak juga menyadarkan lelaki itu dari tidurnya. Sekelompok orang dengan wajah bercahaya berjalan teratur dan rapi sekali memasuki sorga. Saat suara tertutupnya gerbang itu, yang lebih keras, barulah lelaki tua itu terperanjat dari tidurnya. Dijumpainya malaikat Ridwan tersenyum hangat padanya. Dengan emosi sebab tak diperkenankan memasuki sorga, dengan alasan terlambat bangun, malaikat Ridwan menyuruhnya kembali ke tempat antriannya. Kelak, setiap empat puluh tahun gerbang itu akan kembali di bukanya. Slamet Untung tak terima dengan keputusan malaikat Ridwan. Bukankah saat di dunia dulu, sewaktu mudanya, dia sudah susah-payah beribadah. Lalu kenapa dia dilarang masuk sorga. Tapi apa pula mau dikata. Tak mungkin kakek Slamet mengalahkan malaikat itu. Akhirya kembalilah Slamet ke tempat antriannya. Belum lama dia duduk, kantuk kembali menyekapnya. Tertidurlah dia.
Empat puluh tahun berlalu. Pintu gerbang kembali di buka. Namun lagi-lagi Slamet tak terbangun. Baru saat pintu itu tertutup dia baru bangun. Seperti dulu malaikat Ridwan hanya tersenyum, dan menyuruhnya menunggu empat puluh tahun lagi. Menyakitkan. Sangat mengecewakan. Kali ini dada Slamet lebih panas. Orang terakhir yang dilihatnya tadi saat memasuki sorga adalah Surya, cucu satu-satunya.
Begitulah. Berulang-ulang pintu sorga terbuka dan tertutup setiap empat puluh tahun sekali. Dan tidur selalu menjadi penyebab Slamet tak bisa masuk sorga. Sungguh sangat tak Beruntung! 

Anehdot SyamAs I/Jan/2010

Parto, seorang bapak yang Kyai Nyentrik, mengajarkan kepada anaknya, Sule.
Parto    : “Le, kelak kalau aku mati kamu kafani aku dengan kain kafan yang sudah bekas, lusuh dan sobek disana-sini ya..”.
Sule mengeryit dahi mendengar pesan bapaknya itu.
Sule      : “Emang kenapa Pak??. Kita kan orang mampu dan sudah selayaknya kita memberikan yang terbaik bagi orang yang meninggal, sebagai kado terakhir lah...”.
Parto    : “Ini penting Le bagi ayahmu yang banyak dosa dan sedikit istighfar ini!”.
Sule      : “Maksudnya Pak”.
Parto    : “Biar nanti pas di dalam kubur Munkar-Nakir gak nalkin bapakmu ini, barangkali mereka jadi mengira kalau aku udah mati lama....”.
Sule      : “????????????????”.

Analislam SyamAS i/jan/2011: DIBALIK PERAYAAN TAHUN BARU

Oleh: Khafidhotul K. (mahasiswa AS angkatan 2009)

Tahun baru Hijriyah merupakan tahun baru Islam yang beberapa pekan lalu baru saja kita lewati, namun mengapa tidak "semeriah" perayaah tahun baru masehi yaaa? Kita ulas sedikit yuuk mengenai tahun baru yang selama ini dibesar-besarkan oleh orang-orang.
Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.
Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM, sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Perayaan Tahun Baru

Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.

Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.


Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu

Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.

Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Pertanyaannya : Benarkah yang demikian itu ?. atau, seperti inikah maksud ajaran Islam dalam menghormati agama lain?. Jelas bukan, kalau 1 Januari adalah awal tahun baru Masehi, hari sakral-nya umat Nasrani.

Segolongan ulama mengatakan. "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi". Abdullah bin Amr bin Ash berkata, "Siapa yang mengikuti negera-negara 'ajam (non Islam) dan melakukan perayaan Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.”

Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Sementara beberapa pekan yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh apapun. Bahkan, ada juga beberapa instansi, lembaga, organisasi Islam yang tak meliburkan kegiatannya, seperti beberapa kampus Islam-misalnya, untuk sekedar
memeriahkan tahun baru Islam.
Kalau kenyataannya ternyata sudah seperti ini, dan semakin semarak saja acara-acara penyambutan tahun baru Masehi, yang kita lagi-lagi ikut bersuka-cita merayakannya, ya tak perlu lagi kita terbakar hati, kalau mendengar atau melihat penistaan dan penindasan dari orang kafir pada agama kita, toh kita sendiri ikut andil di dalamnya bukan??.

Naudzubillah min zalik.