Senin, 31 Januari 2011

Supremasi Hukum Islam di Indonesia Analisa Sejarah, Politik, dan Perundang-Undangannya

A. Masa Pra Penjajahan
Hukum Islam adalah hukum yang mencakup semua atau bersifat universal. Karena Islam sendiri dijanjikan oleh Allah sebagai agama yang fleksibel dan whenever it is true (kekuatan kebenaran kapan saja), bisa masuk ke semua lini dan waktu, tidak pandang bulu namun tetap mementingkan keadilan. Terbukti dengan berbagai ayat al Qur’an yang banyak mengandung hukum namun juga memberikan otoritas manusia sesuai dengan kemampuannya melalui kemudahan-kemudahan pelaksanaan konsekuensi hukum namun tetap mengikat. Begitu juga masuknya Islam di Indonesia dengan menempuh jalur damai yang dibawa oleh komunitas muslim pada abad ke-7 dan 8 Masehi atau tahun pertama Hijriyah. Kemunculan masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Memberikan angin segar bahwa Islam diterima di Nusantara hingga berkembang menjadi beberapa kerajaan Islam seperti Samudera Pasai, Malaka, Demak, dan sebagainya. Hukum Islam masih berlaku sebagai penerapan kajian fiqih yang berasal dari Negara tempat turunnya Islam, dan penyesuaian terhadap nusantara dilakukan dengan fakta adanya penulisan literatur fiqh oleh mereka sekitar abad 16-17 Masehi. Kenyataan ini, menurut satu sumber, salah satunya adalah karena jasa Nuruddin al-Rinary (w. 1077 H/1666 M) di Aceh, yang menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab ini merupakan kitab pertama yang disebarkan ke seluruh wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan umat Islam dalam menyelesaikan persoalan hukum mereka. Bahkan saat Belanda datang dan masih menjalin “hubungan baik” dengan nusantara melalui perdagangan atas komunitas VOC (Verenigde Qost Indische Companie), hukum Islam masih bebas digunakan dan pembuatan hukum juga dibantu oleh para ahli dari Belanda yang melakukan penelitian. Kemudian disusul dengan berbagai pegangan kitab ulama lainnya yang digunakan untuk menentukan hukum, sehingga hukum Islam berjalan seperti adat bersanding dengan adat lama yang diadopsi dari agama Hindu atau Budha. Tak jarang masyarakat Jawa yang beragama 3 sekaligus yaitu muslim, budhis dan hindu.
Politik pada masa ini masih dalam koridor kerajaan per daerah kekuasaan, dan hukum Islam sedikit banyak diterima dan mempengaruhi pemerintahan terbukti dengan adanya jabatan Kanjeng Penghulu, Penghulu Tuanku Mufti, Tuanku Kadi, di samping para raja dan bupati, sampai jabatan Lebai, Modin, Kaum, dan sebagainya di samping Lurah, Kepala Nagari/Kampung. Hukum yang ada tergantung pada kesultanan atau pemimpin kerajaan masing-masing, dan diterapkan kepada rakyatnya masing-masing juga, sudah ada kerajaan yang saling berhubungan dan penyebaran aliran hukum Islam sesama kerajaan Islam juga sudah terjadi.
Saat kedatangan VOC juga ikut menguasai nusantara, seperti dijelaskan diatas, pemerintah Belanda belum memasukkan paham kolonialisme, hukum positif Belanda juga diberlakukan kepada rakyat nusantara yang mereka anggap sebagai pribumi atau bumi putera. Mereka sudah berhasil masuk ke dalam pemerintahan dan pada waktu belum ada tindakan yang merugikan hukum Islam dan masih banyak menguntungkan. Sejarah perundangan pemerintah VOC mencatat adanya formalisasi hukum Islam melalui staatblad, Statuta, Regeringsreglement/RR, Indische Staatsregeling’ (I.S.) dan sebagainya. Dan Cristian van den Berg (1845-1927 M) juga mengeluarkan teori Receptio in Complexu yang menegaskan bahwa hukum Islam masih digunakan secara mayoritas pada masa ini. Tidak main-main, Belanda juga membuatkan Priesterraad pada masing-masing wilayah Landraad

B. Masa Penjajahan
Saat VOC atau Belanda sudah memasukkan misi kolonialismenya ke pemerintahan, dan teori Receptio in Complexu “dikebiri” oleh Cornelis van Vallenhoven (1874-1933) dan dipopulerkan oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) menjadi teori Receptie hukum Islam dalam perundang-undangan berkurang kuantitas dan ruang lingkupnya. Politik ini berlaku Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan karena kecurigaan pemerintah terhadap hukum Islam yang akan membahayakan Belanda, tentunya dengan peran orientalis Snouck Hurgronje yang memang sengaja untuk memojokkan Islam hingga oleh orang Islam dia dianggap sebagai pembuat teori Iblis (receptie). Usahanya berhasil membuat kadar kekuatan Hukum Islam dalam konteks perundang-undangan atau formal berkurang walaupun tidak hilang sepenuhnya. Politik ini karena adanya prinsip Divide et impera . Latar belakang Belanda tentunya karena takut semakin banyak yang memeluk agama Islam sebab persatuan orang Islam yang melawan penjajahan kala itu.
Ketakutan di atas membuat politik Belanda menghasilkan hukum yang memisahkan golongan rakyat Indonesia menjadi beberapa golongan yang berlaku hukum sendiri-sendiri. Pengaruh ekonomi adalah motornya, dan kolonialisme adalah imbasnya terhadap Indonesia yang sangat merugikan Islam. Peraturan Staatblad atau IS dirubah, dikhususkan, atau di tambah dengan aturan baru yang bertujuan untuk latar belakang di atas. Aturan klimaksnya tercermin pada Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Pada waktu Jepang datang (1942 M), politik hukumnya tidak berbeda dengan politik hukum penjajahan belanda. Dalam perundang-undangan pun tidak ada perkembangan yang berarti, namun jepang memberi sedikit kesempatan kepada umat muslim untuk memimpin sendiri lembaga agamanya dan ijin terhadap perkembangan intelektualitas agama juga agak lebih leluasa, karena Jepang ingin memanfaatkan kekuatan Islam itu sendiri.

C. Masa Kemerdekaan
Pengaruh Jepang lepas, BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang sengaja dibuat Jepang untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Politik masih mengalami transisi dan mulai mencari sosok pemimpin. BPUPKI sendiri adalah kunci dari politik hukum selanjutnya. Sayangnya Jepang lebih mendukung kubu dari tokoh nasionalis daripada muslimin. Maka hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Hasil akhir adalah kata-kata diatas dihapus dan dalam Pembukaan UUD 45 (konstitusi) diganti dengan kata “Yang Maha Esa”.

D. Orde Lama
Selepas Kemerdekaan, hukum Islam masih belum berkembang secara masiv karena persiapan negara yang lebih rumit masih menunggu. Sayangnya niat jahat Belanda yang ingin menguasai pemerintahan Indonesia menghambat proses tersebut. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Negara Indonesia terdiri dari 16 negara bagian. Konstitusinya tidak mendukung hukum Islam, dan terkesan mendukung antek-antek liberalisme.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Posisi hukum Islam belum mempunyai daya tawar yang besar saat ini. Dalam konstitusi ini, posisi hukum Islam hanya ada pada pasal 34 saja. Belum ada rumusan undang-undang menyangkut hukum Islam yang berhasil dirumuskan, sudah ada usaha untuk membuat UU tentang Perkawinan Islam namun terhadang oleh usaha kaum nasionalis. Perjuangan supremasi hukum Islam terganjal politik yang otoriter sehingga hukum tidak responsif.
Sampai pada Dekrit Presiden Soekarno, Hukum Islam menjadi lebih jelas karena konstitusi kembali kepada UUD 45. Dan lagi-lagi karena perpolitikan saat itu masih terpusat pada eksekutif maka usaha pembuatan perundang-undangan menjadi dominan padanya. Akses aspirasi hukum Islam juga terputus apalagi dengan dibubarkannya Masyumi (1960)

E. Orde Baru
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun Masyumi masih dianggap “berbahaya di bidang politik”, setidaknya intelektualitas muslim mulai bisa bernafas lega untuk menggawangi supremasi hukum Islam saat ini. K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970 tentang kekuasaan kehakiman yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dan usaha-usaha positivisasi hukum Islam berlanjut untuk mencari kepastian hukum (law enforcement) yang telah lama hilang karena teori receptie, dan muncullah UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian hukum Islam dengan sendirinya berkembang dan sejajar dengan hukum lainnya termasuk hukum adat. Keberadaan UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sekaligus merupakan landasan yuridis bagi umat Islam untuk menyelesaikan masalah-masalah perdata. Padahal perjuangan umat Islam dalam waktu 45 tahun sejak masa Orde lama dan 15 tahun sejak masa Orde Baru, adalah perjuangan panjang yang menuntut kesabaran dan kerja keras hingga disahkannya UU No.7/1989 pada tanggal 29 Desember 1989 bahkan demi kepentingan umat disusunlah UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari’ah (Kini UU No. 10/1998). Dan peraturan-peraturan yang lain.

F. Era Reformasi – sekarang
Iklim demokrasi yang sudah berkembang menjadikan politik saat ini lebih responsif, peraturan-peraturan baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat pun dicanangkan tak terkecuali hukum Islam. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dan banyak lagi produk hukum Islam yang muncul yaitu: UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38/ 1999 tentang Pangelo!aan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS), UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam, UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam, UU No. 4 1/2004 tentang Wakaf, Perubahan atas UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agarna menjadi UU No. 3,2006 dan sekarang uu no. 50 tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar