Senin, 03 Januari 2011

Opini SyamAS I/Jan/2011: Euforia Dua Masa

Oleh: Miqdam Yusria A (mahasiswa AS angkatan 2008) 

Terlepas dari baik buruknya merayakan tahun baru hijriah atau masehi, suatu yang menarik adalah melihat sisi manusia yang mengalami euforia tahun baru. Euforia berasal dari kata euforia yang diambil dari bahasa yunani kuno (εφορία), bermakna "baik", dan "menanggung (beban)" atau "kekuatan bertahan dengan mudah dan kesuburan". Secara medis dianggap sebagai keadaan mental dan emosional dan didefinisikan sebagai rasa kesejahteraan yang mendalam. Secara teknis, euforia adalah sebuah dampak atau pengaruh, tetapi dalam istilah bahasa sehari-hari sering digunakan untuk mendefinisikan emosi sebagai transenden kebahagiaan yang intens dikombinasikan dengan rasa kepuasan yang sangat besar. Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia euforia adalah perasaan nyaman atau perasaan gembira yg berlebihan
Euforia umumnya dianggap sebagai keadaan fisik dan psikologis yang berlebihan, kadang-kadang disebabkan oleh penggunaan obat psikoaktif dan tidak biasanya dicapai oleh pengalaman manusia normal. Namun, beberapa perilaku alam, seperti kegiatan yang mengakibatkan orgasme atau kemenangan seorang atlet, termasuk datangnya tahun baru, dapat mendorong kondisi singkat euforia ini Euforia ini. juga dianggap sebagai puncak pencapaian ritual keagamaan atau spiritual tertentu dan meditasi.
Lalu apakah yang menjadikan euforia sebagai salah satu akibat dari adanya tahun baru. Dan bagaimanakah besarnya pengaruh tahun baru terhadap munculnya euforia terutama di Indonesia ini. Sayapun bertanya-tanya, lalu segera menulis tulisan ini untuk ber-euforia-ria setelah selesai menulis nanti.
Yang pertama dan berada di garis depan euforia tahun baru masehi tentunya anak muda yang masih merindukan kesejukan gegapgempita kebahagiaan dunia. Sedangkan sebagian orang tua sibuk melarang hedonisme sang anak sambil berharap untuk bisa merasakan tahun baru yang tidak dianggap ironis oleh anak-anaknya. Namun tak jarang juga sebagian orang tua yang mengajari anaknya untuk bertahun baru masehi bersama, entah itu mengajari kebaikan atau malah sebaliknya, tergantung moral masing-masing orang tua.
Euforia tahun baru masehi biasanya muncul dalam skala kecil saat terdengar atau terlihat hal-hal yang berhubungan dengan tahun baru beberapa saat sebelum malam hari perayaan seperti terompet atau sms ajakan bertahun baru dari orang lain, dan sebagainya. Lalu puncaknya adalah hari terakhir bulan Desember sampai jam 12 malam. Kegiatan ini umum dilakukan di Indonesia dan menghasilkan euforia yang hilang sesaat. Setelah kebahagiaan atau lebih tepatnya ‘melihat keramaian’ dan ‘ikut didalamnya‘ berakhir, relatif berakhir pula lah euforia nya. Cuma itu, hasil yang dicapai. Tidak ada perintah khusus dalam membuat euforia dalam tahun baru Masehi. Pelakunya hanya menjalankan tradisi dan perintah marketing yang mengambil alih pasar sebagai sarana untuk mencari brand dan profit. Meskipun banyak kenangan dari para pelaku, namun kenangan tersebut hanya berada pada kenangan fisik, tidak secara ruhaniyah kecuali dilakukan dengan cara-cara ekstrim dan sengaja dilakukan untuk kepuasan ruhaniyah yang dia kejar. Lalu sarat dengan nafsu yang negatif pada saat mengalami euforia saat itu, pelaku kemudian perlahan menyadari bahwa mereka harus mendaftar cita-cita dalam setahun yang biasa disebut dengan resolusi.
Selanjutnya mari kita lirik ke euforia tahun baru hijriyah atau tahun baru Islam. Bisa kita mengerti, bahwa umat Islam memang sudah didoktrin untuk melakukan sesuatu yang tidak sia-sia. Lalu dalam perintah Allah dan sunnah rasul, tahun baru sudah termasuk dalam pengejawantahan tafsir-tafsir keduanya dan secara implisit disarikan menjadi sebuah ritual-ritual khusus seperti doa-doa dan ibadah yang mendapatkan pahala jika sesuai dengan persyaratan. Euforia pada tahun baru hijriyah belum bisa didefinisikan secara umum dan dikelompokkan dalam waktu atau tempat-tempat tertentu, memang abstrak ketika kepuasan ruhaniyah tidak terlihat dan membedakan mana kepuasan yang menuju hal negatif dan kepuasan yang menuju hal positif. Namun keyakinan dalam semua agama sedikit banyak memperlihatkan sesuatu yang positif diharapkan datang ketika melaksanakan kebiasaan. Lalu tentunya euforia yang dihasilkan dari tahun baru khusus agama Islam ini yaitu berupa dominasi perasaan positif murni. Tentunya saya yakin anda sepakat dengan pernyataan saya ini. Kecuali anda atheis dan saya masih meragukan hal itu.
Saya rasa hanya itu yang perlu kita bandingkan mengenai euforia dua tahun baru yang sama-sama dirayakan dengan sikap masing-masing individu. Dan hal yang abstrak dalam perbandingan diatas hanya bisa direnungkan sebagai pertimbangan kita dalam bersikap, terutama ketika posisi kita adalah mahasiswa Islam yang sedang berjuang dengan dekadensi dan degradasi moral. Usaha semua mahasiswa jika diarahkan berdasar hal yang abstrak tentu akan menuai anggapan yang menyerahkan nilai abstrak pada pribadi masing-masing mahasiswa. Namun setidaknya hal yang abstrak itu jika dilakukan secara pribadi dan diaplikasikan secara teknis, pasti akan menyatakan sebuah tindakan realistis. Kemudian hal itu secara tidak sadar juga akan menyadarkan kita pada sebuah kewajiban, kewajiban yang menurut euforia As-Syahid Hasan Al-Bana tersusun pada pernyataan: “Al-Wajibat aktsaru minal Awqat” (‘Kewajiban kita lebih banyak dibandingkan waktu yang tersedia’).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar